Kirim tulisan dan dapatkan kesempatan tulisanmu dipublish Selintas Media. Klik disini

Catatan Samping Pertunjukan Teater “Aku, Chairil”


Chairil Anwar boleh meninggal di usia 27 tahun. Namun, seperti puisinya, ia ingin hidup 1000 tahun lagi dan mungkin begitulah jadinya. Senin, 8 September 2025 -76 tahun setelah kematiannya- Chairil dihidupkan lagi oleh Teater Keliling dalam sebuah pementasan Teater bertajuk “Aku, Chairil”.

Pementasan digelar di Pendopo Pasar Pundensari Madiun. Dalam waktu singkat untuk kisah panjang kepanyairan Chairil, circa satu jam Teater Keliling berhasil menyuguhkan cerita masa kanak Chairil di Sumatera, mengadu nasib jadi sastrawan ke Batavia, duka-cinta dengan perempuan-perempuan, hingga kematiannya di usia muda.

Beberapa hal menarik saya catat dari pertunjukan ini: pemilihan narator, strategi pembacaan puisi, dan penyajian Chairil Anwar sebagai figur sentral.

Narator utama teater ini adalah tokoh Evawani. Sosok perempuan 80 tahun tersebut tak lain adalah anak Chairil Anwar dengan Hapsah Wiriaredja. Pemilihan Evawani sebagai sosok sentral pemandu jalannya cerita memberi suguhan yang menyentuh kepada penonton tentang bagaimana memahami Chairil Anwar yang jalang dari sudut pandang perempuan.

Pembaca Chairil Anwar tentu biasa mengidentikkan karakter bohemian, jail, atau bahkan suka mencuri pada sang penyair. Pada pertunjukan kali ini, Chairil Anwar disuguhkan dengan beberapa watak lain, seperti: Ia menjadi sosok yang “bucin” ketika bersama Sumirat, “konyol” saat bersama Hapsah, dan begitu “melankolis” saat ingin melihat buah hatinya pascacerai dengan sang istri.

Di poin itu, kiranya sutradara jeli menentukan sudut pandang yang menarik sebab sosok perempuan punya peran penting dalam kehidupan pribadi dan kepenyairan Chairil. Saat Ibu-Bapaknya acapkali bertengkar, Chairil sering kabur ke rumah neneknya. Pascaperceraian orang tuanya, ia lebih memilih hidup bersama sang ibu. Puisi pertama yang melejitkan nama Chairil adalah “Nisan”, karya yang diilhami dari kematian sang nenek. Walau sudah menikah dengan Hapsah, Chairil masih dekat dengan perempuan lain di Kawasan Senen. Puisi-puisi Chairil pun tak sedikit berjudul atau diperuntukkan perempuan yang ditaksirnya (Dien Tamaela, Gadis Rasid, Ida Nasution, Karinah Moordjono, Sri Ajati, Sumirat, Tuti, dan yang disebut dalam bentuk inisal).

Strategi pembacaan puisi dalam teater ini kiranya patut diapresiasi atas keberanian dalam eksplorasi. Puisi-puisi chairil tak hanya dibacakan sebagai teks deklamasi dengan gaya vokal yang diberat-beratkan. Beberapa puisi Chairil dijadikan teks dialog oleh tokoh-tokoh lain. Tak jarang juga diujarkan dengan gaya ceria atau seperti orang bicara sebagaimana mestinya. Model seperti ini, memberikan tawaran baru bahwasanya teks-teks puisi tak selamanya kaku.

Dalam penarasian Chairil Anwar, Teater Keliling memiliki strategi yang cukup unik. Selama Pementasan, justru tokoh Chairil Anwar tidak berdialog sama sekali. Ia lebih seperti pantomimer di antara tokoh-tokoh lain yang berdialog dan membacakan puisi.

Kondisi ini memberi ruang interpretasi lebih bagi penonton. Penonton tak hanya pasif-dijejali narasi-narasi langsung oleh aktor utama tentang siapa dirinya, namun “dipaksa” turut aktif menginterpretasi Chairil Anwar dari “penanda-penanda” dialog dan puisi yang dibawakan oleh tokoh lain. Saya sendiri, sebagai penonton, memahaminya sebagai ungkapan bahwa puisi lah yang menjadikan Chairil “ada”; Selayaknya quotes Pramoedya Ananta Toer yang masyhur “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Selain hal-hal menarik dari pertunjukan teater “Aku, Chairil”, ada juga catatan lain yang kiranya patut diperhatikan: kesadaran aktor dan sound system.


Pada beberapa babak, nampak aktor belibet atau lupa dialog/giliran berdialog. Untungnya, aktor dapat berimprovisasi dan tokoh lain dapat menambal sulam dialog sehingga kejadian seperti itu dapat diatasi di atas panggung. Terkadang aktor juga berdiri di posisi yang tidak terpapar cahaya. Kejadian ini nampak sangat ketika tokoh Sumirat (gadis asal Paron) awal-awal memasuki panggung. Bahkan, Evawani mengingatkan secara gamblang dan berulang agar Sumirat beranjak ke area panggung yang terkena cahaya.

Hal-hal di atas mungkin segera terlupa dan tak lama menggangu kekhidmatan penonton atas pertunjukan. Terlebih, aktor-aktor juga mampu menebusnya dengan totalitas akting segera setelah kejadian berlalu. Hal itu terbukti dengan tawa dan tepuk tangan yang riuh silih berganti sepanjang pementasan. Namun, yang sangat mengganggu adalah kualitas sound system. Sedari awal MC membuka acara, suara sering hilang dan tak jarang muncul bising yang mengganggu pendengaran penonton. Sialnya, kejadian tersebut juga kerap muncul selama pementasan berlangsung. Dialog-dialog aktor tak semuanya dapat didengar oleh penonton. Entah mengapa juga, aktor tidak menyiasatinya dengan teknik vokal perut agar dialog mereka tetap terdengar oleh penonton meskipun mikrofon mati.

Syahdu Pendopo Pasar Pundesnsari dan temaram bulan bekerja sama membuat penonton bersitahan hingga pertunjukan usai. Komposisi deretan kursi depan tak berubah seperti awal acara. Sebagian diduduki pejabat setempat dan sisanya bocah TK dan SD. Teater “Aku, Chairil” selain berhasil menyuguhkan kisah panjang Chairil Anwar dalam waktu yang singkat, juga berhasil menjadi media pembelajaran sastra Indonesia yang menarik bagi generasi muda.

Konon, kiwari kemampuan fokus manusia modern hanya 8 detik. Namun, teater membuka kemungkinan lain yang lebih baik. Sekitar satu jam, pementasan teater “Aku, Chairil” tak memberi kesempatan scroll gawai sebab penonton harus fokus dan tidak ada pengulangan adegan. Sejenak saya pun lega sebab tehindar dari ketakutan brain rot. Terima kasih Teater Keliling!

Oleh : Muhammad Muhrizul Gholy / Instagram @muhrizul_gholy