Kirim tulisan dan dapatkan kesempatan tulisanmu dipublish Selintas Media. Klik disini

Guru di Pusaran Badai Digital: Pendidik atau Peninggalan ?

        

Kegiatan pebelajaran (AI)

            Dunia berputar dalam kecepatan yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Era disrupsi digital, sebuah keniscayaan yang ditandai dengan penetrasi teknologi informasi dan komunikasi yang masif, telah mengubah lanskap sosial, ekonomi, dan tak terkecuali, pendidikan. Di tengah gemuruh revolusi ini, satu pertanyaan mendesak muncul: apa peran guru di era yang serba digital ini? Apakah mereka akan menjadi peninggalan sejarah yang usang, ataukah justru menjadi mercusuar yang mampu membimbing generasi muda menavigasi samudra informasi yang tak terbatas? Opini ini akan berargumen bahwa, alih-alih tergerus, peran guru justru semakin krusial, bertransformasi dari sekadar penyampai informasi menjadi fasilitator, inspirator, dan pembentuk karakter di tengah banjir data dan algoritma.

Gelombang Disrupsi di Hadapan Papan Tulis

            Revolusi digital telah menciptakan lompatan besar dalam ekosistem pendidikan global. Data dari World Bank menunjukkan bahwa penetrasi internet global telah mencapai lebih dari 60% populasi dunia pada tahun 2023, dengan pertumbuhan  yang signifikan di negara-negara berkembang. Di Indonesia sendiri, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pengguna internet terus meningkat, mencapai lebih dari 200 juta jiwa pada awal 2024. Angka ini bukan sekadar statistic, ini cerminan perubahan fundamental dalam cara masyarakat berinteraksi, belajar, dan bekerja. Informasi yang dulu eksklusif di ruang kelas kini tersedia secara instan di ujung jari setiap individu. Sumber belajar tidak lagi terbatas pada buku cetak dan ceramah guru, platform daring, video edukasi, dan kecerdasan buatan (AI) menawarkan alternatif yang tak terhitung jumlahnya.

             Kondisi ini menciptakan tantangan serius bagi sistem pendidikan lawas. Model pengajaran satu arah, di mana guru menjadi satu-satunya sumber pengetahuan, menjadi tidak relevan. Siswa masa kini, yang tumbuh besar dengan gawai dan internet, memiliki gaya belajar yang berbeda. Mereka cenderung lebih mandiri dalam mencari informasi, lebih visual, dan membutuhkan interaksi yang lebih dinamis. Jika guru gagal beradaptasi, risiko kehilangan relevansi dan menciptakan kesenjangan digital yang lebih dalam akan semakin besar. Ini bukan tentang menggantikan guru dengan teknologi, melainkan tentang bagaimana teknologi dapat memperkuat peran guru, dan bagaimana guru dapat membimbing siswa dalam memanfaatkan teknologi secara bijak.

Dari Penyampai Fakta Menjadi Pemandu Transformasi

            Guru seringkali terjebak dalam paradigma lama yang mengutamakan penyampaian konten semata. Di era digital, informasi melimpah ruah dan dapat diakses dengan mudah, membuat peran guru sebagai satu-satunya "gudang ilmu" menjadi usang. Ini menimbulkan pertanyaan tentang nilai tambah guru dalam proses pembelajaran.

  Sebuah survei yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Pendidikan Balitbang Kemendikbud pada tahun 2022 menunjukkan bahwa sebagian besar siswa masih menganggap guru sebagai sumber utama informasi, namun di saat yang sama, mereka mengakui bahwa internet juga menjadi sumber belajar yang sangat penting. Data ini mengindikasikan adanya pergeseran persepsi dan kebutuhan siswa yang belum sepenuhnya diakomodasi oleh praktik pengajaran konvensional. Laporan dari World Economic Forum (2023) menggarisbawahi pentingnya keterampilan abad ke-21 seperti pemikiran kritis, kreativitas, kolaborasi, dan komunikasi sebagai prasyarat keberhasilan di masa depan, keterampilan yang tidak bisa sepenuhnya diajarkan melalui ceramah satu arah.

Pergeseran ini menuntut guru untuk bertransformasi. Alih-alih hanya berfokus pada apa yang diajarkan (konten), guru harus lebih fokus pada bagaimana siswa belajar dan mengapa mereka belajar (proses dan makna). Ini berarti guru harus beralih dari peran sebagai penyampai fakta menjadi: 

1) Fasilitator Pembelajaran; Guru bukan lagi sekadar memberi tahu, melainkan memfasilitasi siswa untuk menemukan, mengeksplorasi, dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Ini melibatkan perancangan pengalaman belajar yang interaktif, menantang, dan relevan dengan dunia nyata. Pemanfaatan platform pembelajaran daring, simulasi, dan proyek kolaboratif dapat menjadi alat bantu yang efektif. Guru memandu siswa dalam menavigasi lautan informasi, membantu mereka membedakan informasi yang valid dari hoaks, dan mengembangkan literasi digital. 

2) Inspirator dan Pembentuk Karakter; Di tengah banjir informasi, kemampuan memilah dan menyaring informasi, berpikir kritis, serta beretika digital menjadi penting. Guru memiliki peran dalam menanamkan nilai norma. Tidak hanya mengajarkan materi pelajaran, tetapi juga menginspirasi siswa untuk menjadi pembelajar seumur hidup, mengembangkan rasa ingin tahu, empati, dan tanggung jawab sosial. Diskusi tentang dampak etis teknologi, penggunaan media sosial yang bertanggung jawab, dan pengembangan kecerdasan emosional menjadi bagian integral dari peran guru. 

3) Pengembang Keterampilan Abad ke-21; Kurikulum modern menuntut penguasaan keterampilan yang relevan dengan era digital, seperti pemecahan masalah kompleks, pemikiran komputasi, kreativitas, dan kolaborasi. Guru harus merancang kegiatan pembelajaran yang mendorong pengembangan keterampilan ini. Proyek berbasis masalah (PBL), pembelajaran berbasis tim, dan penggunaan alat digital untuk berkreasi dan berinovasi adalah beberapa contoh praktik yang dapat diterapkan. Guru menjadi mentor yang membimbing siswa dalam mengembangkan potensi mereka, bukan sekadar penilai hasil akhir.

Transformasi peran guru ini membutuhkan dukungan dan komitmen dari individu guru itu sendiri. Beberapa solusi dan praktik baik yang dapat diterapkan meliputi; Pertama, Peningkatan kompetensi digital guru. Pelatihan yang terstruktur dan berkelanjutan mengenai penggunaan teknologi dalam pembelajaran adalah mutlak diperlukan. Hal ini mencakup pemahaman tentang pedagogi digital, desain pembelajaran blended learning, dan evaluasi berbasis teknologi. Praktik baiknya dapat melalui Program "Guru Inovatif" di beberapa daerah di Indonesia, yang bekerja sama dengan platform teknologi pendidikan, mampu melatih ribuan guru dalam mengintegrasikan teknologi ke dalam kelas, mulai dari penggunaan Google Workspace for Education hingga pengembangan materi ajar interaktif. 

Kedua, Pengembangan kurikulum adaptif: Kurikulum harus lebih fleksibel dan responsif terhadap perubahan cepat di era digital. Penekanan harus bergeser dari penguasaan konten ke pengembangan keterampilan dan kompetensi. Ketiga, Penciptaan Komunitas Belajar Profesional (PLC). Guru perlu memiliki wadah untuk berbagi pengalaman dan berkolaborasi dalam mengembangkan praktik pengajaran inovatif. Keempat, Dukungan infrastruktur dan kebijakan. Ketersediaan akses internet yang stabil, perangkat keras yang memadai, dan kebijakan yang mendukung inovasi dalam pendidikan adalah fondasi penting.

Mercusuar di Lautan Disrupsi

        Guru bukan lagi sekadar penyampai informasi, melainkan arsitek pengalaman belajar yang bermakna, pembimbing moral yang kuat, dan inspirator bagi generasi mendatang. Mereka adalah mercusuar yang membantu siswa menavigasi lautan informasi yang tak terbatas, membedakan antara fakta dan fiksi, serta mengembangkan keterampilan yang krusial untuk bertahan dan berkembang di dunia yang terus berubah. Mari kita bersama-sama memberdayakan para guru, bukan hanya dengan peralatan dan teknologi, tetapi juga dengan pelatihan yang relevan, dukungan moral, dan pengakuan atas peran vital mereka. Seluruh stakeholder dalam masyarakat luas memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa guru dapat menjadi garda terdepan dalam membentuk individu-individu yang cerdas, adaptif, dan berintegritas di era digital.

Oleh : Rifqi Firda Syaktanti, S.Pd