Bukan Kebetulan! Ahli Nama Ungkap Alasan Sejarah dan Budaya Kenapa Orang Jawa Tak Punya Marga
SelintasMedia- Fenomena nama marga atau family name lazim ditemui di berbagai suku di Nusantara, mulai dari Batak, Minahasa, hingga Ambon. Namun menariknya, suku Jawa yang merupakan kelompok etnis terbesar di Indonesia justru tidak memiliki tradisi marga. Lalu, apa alasan sejarah dan budaya di balik hal itu?
![]() |
| Ilustrasi, babu di Jawa memandikan anak majikan tahun 1905. Sumber : KITLV |
Hal tersebut diungkap oleh Septian Dwita Kharisma, guru sekaligus pegiat sejarah asal Madiun yang aktif di Komunitas Pelestari Sejarah Madiun Raya (Kompas Madya/HvM). Menurutnya, sistem penamaan orang Jawa memang berakar dari nilai budaya dan struktur sosial yang khas.
“Jawa itu tidak mengenal marga seperti suku lain, tapi lebih menekankan pada nasab. Identitas keluarga orang Jawa diturunkan lewat garis keturunan, bukan nama klan atau marga. Karena itu, tidak ada ketentuan pasti tentang nama belakang di Jawa.” Ujarnya, Rabu (22/10), kemarin.
Kendati demikian, ada beberapa keluarga yang menggunakan nama belakang untuk menunjukkan asal-usul atau garis keturunan tertentu. Septian mencontohkan gelar K.R.A.T. Kalapaking yang diberikan oleh Amangkurat I kepada Bupati Kebumen. Nama “Kalapaking” itu kemudian diwariskan turun-temurun hingga dikenal melalui artis Novia Kolopaking, istri budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun).
Selain itu, beberapa tokoh juga mempertahankan nama leluhur sebagai bentuk penghargaan, seperti aktris Dian Sastrowardoyo yang merupakan keturunan Soenario Sastrowardoyo, tokoh Sumpah Pemuda; atau aktor Tora Sudiro yang berasal dari garis keturunan Soediro, Wali Kota pertama Jakarta.
“Cara mengenali garis keluarga orang Jawa biasanya lewat silsilah. Kalau status sosial, selain nasab, bisa juga dari gelar kebangsawanan, misalnya Hamengkubuwono I–XI atau Ronggo Prawirodirjo I–III,” tambahnya.
Dalam sejarah kerajaan Jawa kuno, nama-nama tokoh juga sering menggunakan unsur hewan seperti Gajah Mada atau Kebo Anabrang. Menurut Septian, penggunaan nama-nama itu bukan tanpa makna.
“Nama hewan digunakan sebagai simbol kekuatan, keberanian, atau jabatan tertentu. Misalnya ‘Gajah’ menggambarkan kekuasaan dan kebijaksanaan, sedangkan ‘Kebo’ melambangkan ketangguhan,” tuturnya.
Lebih jauh, ia juga menjelaskan bahwa sebagian nama khas seperti Mulawarman, Syailendra, hingga Warman menunjukkan pengaruh kebudayaan India. “Nama-nama itu bukan sekadar indah, tapi juga punya nilai religius dan filosofi. Warman berarti perisai, Syailendra bermakna raja gunung. Sementara nama seperti Hayam Wuruk artinya ayam jago yang terpelajar, dan Ken Arok berarti simbol kekuatan dan kebijaksanaan,” ungkapnya.
Namun seiring waktu, tren penamaan di kalangan orang Jawa mengalami pergeseran. Saat ini, banyak keluarga yang memilih nama bernuansa Barat atau Timur, seperti Lionel, Frederik, atau bahkan nama-nama dari budaya populer modern.
“Orang Jawa sekarang menganggap nama kuno itu ketinggalan zaman. Padahal dulu nama-nama seperti Soekarno, Bismo, atau Utomo justru lahir dari nilai budaya yang kuat, seperti dunia pewayangan, alam, dan filosofi hidup,” kata Septian.
Ia menambahkan, perubahan itu tak lepas dari pengaruh globalisasi dan konsumsi budaya luar. “Kalau dulu orang menonton wayang lalu menamai anaknya sesuai tokoh panutan, sekarang orang terinspirasi dari film, musik, atau figur publik Barat dan Timur. Jadi penamaan itu sebenarnya potret dari budaya yang sedang hidup di masyarakat.”
Melalui penjelasan itu, Septian menegaskan bahwa ketiadaan marga pada orang Jawa bukanlah kekurangan, melainkan bagian dari kekayaan budaya yang menekankan makna nasab, filosofi, dan spiritualitas dalam setiap nama.
“Nama bagi orang Jawa bukan sekadar label, tapi doa, identitas, dan cerminan nilai leluhur yang terus hidup dalam budaya kita,” pungkasnya. (sas/selintasmedia)

Join the conversation