Perubahan Konteks Peran Bupati Sebelum Perang Jawa dan Setelahnya
Pada konteks masa lalu bupati adalah alat yang dipakai oleh kerajaan untuk mengatur wilayahnya, selain bertugas menjadi pemimpin adminstratif, bupati juga memiliki tugas sebagai pemimpin agama dan menjadi pemimpin pasukan dalam rangka membantu raja jika kerajaan terancam. Menurut L. Adam (dalam, Onghokham, 2018: 29), Bupati bisa diangkat dari elit lokal yang menikah dengan keluarga kerajaan, atau bahkan orang kepercayaan bukan bangsawan yang diberi status priyayi oleh raja, atau saudara jauh dan bahkan lawan politik mereka.
Terkadang pengaruh dan eksistensi Bupati yang besar dikalangan rakyat serta wilayah sekitarnya mengancam kaum kolonial maupun kerajaan yang membawahinya, tak jarang para bupati melakukan pemberontakan melawan otoritas kerajaan karena kekecewaan terhadap pemimpinnya seperti pemberontakan Ronggo Prawirodirjo ke III dari Madiun yang kecewa atas kebijakan Kasunanan Yogyakarta karena interverensi oleh pemerintah Belanda pada 20 November 1810.
![]() |
| Ronggo Prawirodirdjo III |
Otoritas yang dimiliki oleh Bupati itu segera diminimalisir oleh Kesultanan yang didukung pemerintahan kolonial Belanda, namun perlahan otoritas Kerajaan Jawa atas wilayahnya seperti Mancanegara Wetan, Mancanegara Kilen dan Wilayah Pesisir semakin menciut. karena pemerintah kolonial Belanda ingin mengendalikan wilayah yang dahulunya dikuasai oleh otoritas tradisional seperti Kasunanan maupun Kasultanan. Pengendalian wilayah ini menjadi kompensasi dengan dalih reoraganisasi wilayah sebagai imbas dari perang Jawa yang digelorakan oleh Pangeran Diponegoro pada tahun 1825 hingga 1830.
Hilangnya otoritas tradisional ini berawal dari Perjanjian Sepreh pada 3 Juli 1830 yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial dan para Bupati dari daerah Mancanegara Timur dengan berujung pada perubahan kekuasaan otoritas tradisional, Menurut Zuhdi (dalam Shinta dan Sumarno, 2024: 2) Peta wilayah kekuasaan kerajaan Mataram berubah kecuali Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta yang berstatus semi merdeka. Wilayah Mancanegara Wetan dan Kulon diurus langsung oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Kedua wilayah ini kemudian dibagi menjadi empat Residensi yaitu Banyumas dan Bagelan di bagian barat, Madiun dan Kediri di bagian timur.
Peristiwa itu akhirnya mempengaruhi Otoritas Bupati di daerah, ini mempengaruhi pola kepemimpinan Bupati yang berkuasa termasuk Bupati Madiun saat itu, para Bupati memiliki kewenangan untuk menolak dan menghentikan kebijakan pemerintah Belanda yang tidak menguntungkan rakyatnya. Bupati juga memiliki otoritas dalam menentukan arah pembangunan serta kebijakan yang mendukung rakyat, salah satu produk otoritas otonom pasca Perjanjian Sepreh ialah Bupati Madiun, contohnya seperti Raden Mas Ario Brotodiningrat yang menjabat pada tahun 1887 hingga 1899 dan Pangeran Ronggo Ario Kusnodiningrat yang menjabat pada tahun 1900 hingga 1929.
Oleh : Septian D. Kharisma / Instagram @septian_d_kharisma
Dalam Karya : Kiprah Populis Sang Bupati Madiun Pangeran Ronggo Ario Koesnodingrat

Join the conversation